Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.
Seni Seharusnya Dialami, Bukan Sekadar Ditafsirkan
Jumat, 2 Mei 2025 18:43 WIB
Menikmati seni berarti mengalami sekalgus menafsirkan. Menulis karya seni adalah mengungkap pengalaman sublim kemanusiaan tentang semesta.
***
Dalam editorial terbarunya berjudul "By the Book", tim redaksi e-flux.com mengangkat pertanyaan mendalam: mengapa pengalaman transformatif dalam seni terasa semakin langka?
Mereka merujuk pada tulisan Laura McLean-Ferris tentang karya Mark Leckey, yang mampu membangkitkan perasaan "terpukau" mirip pengalaman religius. Hal ini memicu refleksi tentang apakah kita, sebagai penikmat seni, telah menjadi kebal terhadap pengalaman semacam itu.
Menulis tentang seni adalah upaya untuk mengartikulasikan pengalaman yang sering kali sulit diungkapkan dengan kata-kata. Namun, saat ini, ada tekanan bagi seniman untuk memastikan karya mereka mudah dipahami sejak awal, guna menghindari kesalahpahaman. Akibatnya, karya seni mungkin kehilangan kedalaman emosional dan makna yang mendalam.
Analogi dengan Pengalaman Religius
Editorial ini menarik analogi antara pengalaman estetika dan religius, yang sering dibagi menjadi dua mode: "imajistik" dan "doktrinal". Mode imajistik melibatkan ritual intens yang meninggalkan kesan mendalam, mirip dengan pengalaman yang ditawarkan oleh karya seni yang kuat. Sebaliknya, mode doktrinal lebih fokus pada penyebaran ajaran melalui teks dan kata-kata.
Mode imajistik, yang muncul pada zaman Paleolitik Atas melalui lukisan gua, adalah bentuk awal dari pengalaman religius dan seni. Seiring waktu, mode doktrinal berkembang, memungkinkan penyebaran ajaran melalui teks tertulis. Dalam konteks seni, ini mencerminkan pergeseran dari pengalaman langsung menuju interpretasi berbasis teks dan teori.
Pertanyaannya, apakah praktik seni saat ini lebih bergantung pada studi teks-teks kanonik dan penerapan dogmatisnya daripada pada penciptaan pengalaman yang menggugah? Meskipun kedua mode ini tidak saling eksklusif, ada kekhawatiran bahwa seni semakin terjebak dalam kerangka doktrinal yang membatasi ekspresi kreatif.
Ketegangan antara pengalaman langsung dan interpretasi berbasis teks mencerminkan dilema dalam dunia seni kontemporer. Di satu sisi, ada keinginan untuk menciptakan karya yang menggugah emosi; di sisi lain, ada tekanan untuk memastikan karya tersebut dapat dijelaskan dan dipahami dalam kerangka teori yang ada.
Institusi seni, seperti museum dan galeri, memainkan peran penting dalam membentuk cara kita memahami dan menghargai seni. Namun, ketika institusi ini lebih menekankan pada interpretasi teks daripada pengalaman langsung, mereka mungkin secara tidak sengaja menghambat potensi transformatif dari seni itu sendiri.
Editorial ini mengusulkan perlunya keseimbangan antara pendekatan imagistik dan doktrinal dalam seni. Keduanya memiliki peran penting: yang satu menawarkan pengalaman emosional yang mendalam, sementara yang lain menyediakan kerangka untuk pemahaman dan refleksi. Keseimbangan ini memungkinkan seni untuk tetap relevan dan menggugah.
Untuk mengembalikan kekuatan transformatif seni, perlu ada upaya untuk menciptakan ruang bagi pengalaman langsung yang mendalam. Ini bisa berarti memberi seniman kebebasan lebih besar untuk bereksperimen tanpa takut disalahpahami, serta mendorong penikmat seni untuk terbuka terhadap interpretasi yang lebih personal dan emosional.
Kritikus dan kurator memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menjelaskan karya seni dalam kerangka teori, tetapi juga untuk mengakui dan menghargai pengalaman subjektif yang ditawarkan oleh karya tersebut. Ini memerlukan pendekatan yang lebih empatik dan terbuka terhadap berbagai bentuk ekspresi seni.
Pendidikan seni harus mencakup baik pemahaman teoritis maupun pengalaman langsung. Dengan demikian, generasi baru seniman dan penikmat seni dapat menghargai kedalaman emosional dan intelektual dari karya seni, serta memahami konteks dan makna yang lebih luas.
Dialog antara pendekatan imagistik dan doktrinal dapat memperkaya dunia seni. Dengan menggabungkan kekuatan keduanya, seni dapat menjadi medium yang tidak hanya menggugah emosi tetapi juga merangsang pemikiran kritis dan refleksi mendalam. ***

Penulis Indonesiana
7 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler